Teringat saya dengan kisah yang pernah saya alami beberapa tahun yang lalu, dimana seorang teman memiliki "ikatan emosional" yang sangat tinggi dengan seorang dokter. Setiap ia sakit, selalu saja ia berobat kepada dokter langganannya.
Pernah pada suatu waktu, ketika kami kebetulan secara bersamaan melaksanakan tugas dinas ke luar kota, sang teman mengalami gangguan kesehatan yang sesungguhnya menurut saya "cukup sederhana", yaitu hanya sekedar sakit kepala. Ia langsung kebingungan dan mencoba menghubungi handphone (hp) sang dokter. Namun ternyata nomor hp sang dokter sedang tidak bisa dihubungi. Ia begitu kalut, seakan-akan hanya satu-satunya dokter yang mampu menyembuhkan penyakit yang sedang dideritanya, yaitu dokter langganannya.
Karena merasa prihatin, saya pun lantas menawarkan sang teman untuk berobat ke suatu klinik pengobatan. Dengan berbagai alasan, sang teman tetap aja enggan untuk berobat, karena sekali lagi ia menyatakan sudah sangat intim cocok dengan dokter langganannya. Dengan berbagai cara saya mencoba membujuknya, namun tetap gagal.
Setelah usai melaksanakan perjalanan dinas tersebut, kami segera kembali ke daerah "asal". Diceritakannya, ketika kami sudah sampai dengan selamat di rumah kami masing-masing, sang teman segera bergegas meluangkan waktu untuk berobat ke dokter langganannya, dan setelah bertemu dan meminum obat pasaran yang telah disediakan, dalam kurun waktu cukup singkat, segera sembuh dan hilanglah segenap "perasaan pusing dan sakit kepala" sang teman.
Kondisi seperti ini tentu membuat saya khawatir, jika hp sang dokter tidak dapat dihubungi saja sudah membuat sang teman menjadi kalut, lantas bagaimana jika sang dokter pindah domisili ke tempat lain yang cukup jauh, atau bahkan jika sang dokter "tiada". Apa yang terjadi pada sang pasien?
Kisah ini sungguh sangat menarik bagi saya, ternyata perasaan sugesti (pengaruh yang dapat menggerakkan hati seseorang) yang telah begitu tertanam dalam benak seseorang, ternyata sangat sulit dihilangkan, bahkan dapat menimbulkan semacam pengkultusan terhadap figur seseorang. Kondisi seperti ini sesungguhnya memang sulit dikaji secara akal sehat. Seperti contoh lain, bagaimana warga masyarakat berbondong-bondong mengunjungi Ponari sang dukun cilik asal Jombang, bahkan secara ekstrim, ada sebagian masyarakat yang dengan relanya meminum air comberan yang diduga sebagai bekas air basuhan mandi Ponari.
Jika kisah di atas dikaitkan dengan proses demokrasi di Indonesia, "semangat sugesti ala
Rommy Rafael dan kultus" ini masih terasa. Bahkan menurut
hasil terawangan saya, masih cukup dominan pendukung partai politik peserta pemilu legislatif 09 April 2009 yang lalu,
mencontreng caleg dan atau lambang parpol karena hasil dari "pengkultusan" terhadap figur/petinggi suatu parpol.Menurut hemat saya, kondisi seperti ini tidaklah baik untuk pendidikan politik dan demokrasi. Perkembangan "budaya" seperti ini sebaiknya sudah harus kita pupus habis. Sesungguhnya kita berharap agar seseorang memanfaatkan hak pilihnya adalah karena didasari dengan logika dan rasionalitas. Memilih wakil dan atau pemimpin bukanlah sekedar "pekerjaan lepas rodi", karena semua itu berimplikasi terhadap nasib kita, nasib bangsa Indonesia.
Ada pepatah yang menyatakan bahwa untuk mendudukkan seseorang dalam suatu posisi hendaknya memperhatikan aspek "the right man in the right place"," the man behind the gun", bahkan sebuah hadist Rasulullah SAW menyatakan, "jika sesuatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya". Artinya apa??? Mari kita berfikir dengan cermat dan seksama dalam memilih pemimpin, karena sugesti dan pengkultusan adalah sebuah subjektifitas yang semu! Apakah sugesti dan pengkultusan ini merupakan wujud kegagalan kita semua? Atau bahkan merepresentasikan krisis kepemimpinan di negara ini? Entahlah, mungkin teman-teman semua memiliki jawabannya....silahkan berpendapat..........
Tiada gading yang tak retak...