Disaat bangsa kita akan memperingati se-abad kebangkitan nasional bangsa kita, justru kita saat dikejutkan oleh wacana privatisasi BUMN. Wacana ini dianggap sebagai sebagai langkah “penyelamatan APBN”. Tak tanggung-tanggung, menutut inilah.com, Komite Privatisasi BUMN menyetujui privatisasi 34 BUMN tahun 2008 ini. Para analis menyebutnya sebagai 'ledakan privatisasi'. Dengan 10 BUMN luncuran (carry over) tahun lalu, total yang diajukan Menneg BUMN Sofyan Djalil ke DPR-RI menjadi 44 BUMN.
Jumlah itu boleh dibilang spektakuler. Jumlah yang terbesar dalam sejarah bangsa ini. Kalangan DPR pun mempertanyakan metode apa yang digunakan Pemerintah dalam proses penjualan 44 BUMN itu. Sebagai ilustrasi, bahwa pada periode 1991-2001, Pemerintah Indonesia telah 14 kali memprivatisasi BUMN, walaupun yang terprivatisasi tidak seluruhnya, yaitu “hanya” 12 BUMN. Periode 2001-2006, pemerintah kembali memprivatisasi 14 BUMN, dan lagi-lagi “hanya” 10 BUMN yang terprivatisasi, dan ironisnya, sejak jaman kepemimpinan mantan Presiden BJ Habibie, Gus Dus sampai dengan Ibu Megawati yang “nasionalis”pun tidak “terbebas” dari niat privatisasi BUMN.
Hingga saat ini, kebijakan pemerintah SBY-JK dinilai para pengamat sebagai 'ledakan privatisasi'. Bayangkan, hanya dalam setahun 44 BUMN dilego. Apalagi, privatisasi kali ini disertai penjualan seluruh saham 14 BUMN industri, 12 BUMN kepada investor strategis, dan beberapa BUMN lainnya kepada asing. Ledakan privatisasi yang dilemparkan Pemerintah tahun ini dituding para analis “pro-nasioanalisme ekonomi” sebagai langkah yang tidak lepas dari agenda neoliberalisme IMF, Bank Dunia, ADB, maupun kalangan korporat asing.
Rencana Privatisasi BUMN itu melahirkan komentar yang beragam, menurut Guru Besar FE UI Sri Edi Swasono, jika tidak dikelola secara hati-hati dan profesional, ledakan privatisasi itu justru mengindikasikan adanya upaya “perampokan” harta negara untuk agenda politik Pemilu 2009, sementara Indonesia Corruption Wacth (ICW) menempatkan agenda privatisasi 2008 sebagai salah satu ladang potensi korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan, menjelang Pemilu 2009 sudah terendus transaksi-transaksi yang mencurigakan.
Dengan penjualan BUMN besar-besaran ini, sekali lagi ratusan triliun aset negara beserta manfaatnya akan segera melayang dari tangan bangsa ini hanya untuk memuaskan kerakusan neoliberalisme. Menurut para penganut nasionalisme ekonomi, BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak dan BUMN yang bergerak di sektor pertambangan termasuk harta milik umum. Jadi, mestinya, pemerintah tidak berhak menjualnya kepada swasta dan asing. Begitu pula BUMN yang bersifat strategis bagi negara dan industri nasional. Selanjutnya meminjam perspektif ekonom UGM Revrisond Baswir, penjualan (privatisasi) 44 BUMN itu akan dipersoalkan publik jika tidak memakai metode yang benar, profesional, hati-hati, tidak tepat momentumnya, tidak akuntabel, dan tidak transparan.
Sejauh ini, BUMN yang akan diprivatisasi tahun ini adalah PT Asuransi Jasa Indonesia, PT Krakatau Steel, PT Bank Tabungan Negara, PT Semen Baturaja, PT Sucofindo, PT Surveyor Indonesia, dan PT Waskita Karya, Bahtera Adiguna, Barata Indonesia, PT Djakarta Lloyd, PT Sarinah, PT Industri Sandang, PT Sarana Karya, PT Dok Kodja Bahari, PT Dok & Perkapalan Surabaya, PT Industri Kereta Api, PT Dirgantara Indonesia, PT Kertas Kraft Aceh, PT INTI, Virama Karya, Semen Kupang, Yodya Karya, Kawasan Industri Medan, Kawasan Industri Makassar, Kawasan Industri Wijaya Kusuma, PT SIER, PT Rekayasa Industri, Kawasan Berikat Nusantara, Garuda Indonesia, Merpati Nusantara dan Industri Gelas.
Menurut A Tony Prasetiantono, Dosen FE UI bahwa di seluruh dunia, privatisasi BUMN pada dasarnya didorong dua motivasi :
1. Keinginan menaikkan efisiensi karena buruknya kinerja sebagian BUMN. Dalam wacana teori ekonomi, hal ini secara normatif berasosiasi dengan beberapa teori klasik, seperti: (1) X-efficiency (Harvey Leibenstein, 1966), di mana BUMN memerlukan insentif di luar kompetisi; (2) allocative efficiency (dengan pembahas pertama isu natural monopoly oleh John Stuart Mill, 1848), di mana pasar akan mendorong pencapaian efisiensi melalui persaingan; dan (3) dynamic efficiency (Joseph Schumpeter, 1942), di mana BUMN akan kian efisien jika manajemennya terdorong untuk melakukan inovasi.
2. Secara empiris dapat dibuktikan, privatisasi BUMN bisa dimaksudkan untuk membantu anggaran pemerintah dari tekanan defisit. Saat Inggris memulai gelombang privatisasi BUMN di era PM Margaret Thatcher tahun 1979, mereka menggunakan hasil privatisasi BUMN top (British Airways, British Telecom, dan British Gas) untuk mengatasi krisis fiskal atau defisit anggaran (Iekenberry, 1990).
Berdasarkan Studi yang dilakukannya, privatisasi di Indonesia bisa dipilah menjadi dua hal, berdasar kontroversial-tidaknya. Dari beberapa pengalaman privatisasi sejak Semen Gresik menjual sahamnya tahun 1991, hanya ditemukan dua kasus privatisasi besar yang bermasalah. Pertama, kasus penjualan 14 persen saham grup Semen Gresik kepada Cemex (Meksiko), September 1998 (kontroversi terletak pada harga yang tidak fair / terlalu murah) dalam denominasi dollar AS. Hal itu terjadi saat rupiah sedang di level terlalu rendah/undervalued). Kedua, kasus penjualan 42 persen saham Indosat kepada STT (Singapore Telecom and Telemedia) Desember 2002, kontroversinya lebih disebabkan ketidakrelaan menjual industri strategis kepada investor asing. Semangat sentimen nasionalis ini kuat mewarnai penolakan masyarakat atas penjualan saham Semen Padang dalam satu paket grup Semen Gresik kepada Cemex.
Terlepas dari itu semua, yang jelas saat ini, terkesan bangsa ini sedang berada di persimpangan jalan yang membingungkan, sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang juga membingungkan. Pemerintah telah mengambil langkah gagap, hanya karena Pemerintah ”menyesuaikan” harga BBM, terbitlah PKPS BBM dalam wujud BLT yang notabene merupakan langkah ”pengalihan isu yang tidak populer dan tidak mengena”. Selanjutnya, karena dalih defisit anggaran, kita dengan rela men-de-nasionalisasikan asset-asset kita ?! Apalagi diantara beberapa BUMN yang akan di privatisasikan itu adalah notabene BUMN yang sangat strategis, seperti PT Krakatau Steel yang merupakan industri Hulu dan sangat dibutuhkan oleh negara-negara yang akan ”take off” atau yang ”flying”, oleh karena itu sebagai orang awam penulis beranggapan bahwa privatisasi yang dilakukan ini adalah merupakan ”kambing hitam” dari kegagalan pemerintah menggiring dan mengembalikan dana yang berhasil dikantongi oleh koruptor-koruptor kelas kakap dan ”white collar crime” lainnya seperti Illegal logging, Illegal fishing bahkan para debitur-debitur ”BLBI gate”.
Memang, bangsa kita adalah bangsa yang merdeka, tapi mungkin belum berdaulat. Kita masih dengan senangnya memelihara sikap yang manggut-manggut, manut-manut, sambil kedua belah tangan disilangkan didepan (maaf) alat kelam*n kita. Kita terlalu terbuai dengan janji-janji manis sang ”Unholy Trinity”, tiga serangkai yang tidak suci......................IMF, WTO dan World Bank.
Kembali lagi dengan dalih membantu dan menyelamatkan negara-negara ketiga dari jurang kemiskinan dan keterpurukan, mereka melahirkan kesepakatan yang menyesatkan (apabila tidak dikaji dan di filter sesuai dengan kondisi negara masing-masing) seperti apa yang disebut dengan Washington Concensus yang melahirkan beberapa kesepakatan tentang Defisit Fiskal, Prioritas Pengeluaran Swasta, Reformasi Pajak, Suku Bunga, Nilai Tukar, Kebijakan Perdagangan, Investasi Langsung Luar Negeri, Privatisasi, Deregulasi dan Hak Properti.
Hal-hal fundamental inilah yang diabaikan dan tidak tercakup dalam WC (bukan water closet). Dogma liberalisasi, seperti diajukan oleh WC acap kali berubah menjadi tujuan dan bukan lagi berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan sistem finansial yang lebih baik. IMF lebih suka jika orang luar tidak terlalu banyak bertanya mengenai apa yang sedang mereka kerjakan.
Dalam teori, lembaga-lembaga keuangan itu mendukung institusi-institusi demokrasi di negara-negara yang dibantunya. Namun dalam prakteknya, IMF merusak proses demokrasi dengan cara memaksakan ”isi perutnya”. Secara ideal memang IMF tidak ”menekan” apapun juga. Seolah demokratis ia ”merundingkan” syarat-syarat untuk menerima bantuan. Tetapi semua kekuatan dalam negosiasi itu hanya berada pada satu sisi—sisi IMF, jarang sekali lembaga keuangan tersebut memberikan waktu yang cukup untuk menumbuhkan konsensus atau bahkan untuk mengadakan konsultasi yang luas baik dengan dewan perwakilan rakyat atau dengan masyarakat sipil.
Kembali ke persoalan privatisasi, Mengapa BUMN-BUMN strategis di Indonesia harus diprivatisasi? Mengapa tidak di “go-public” kan secara terkendali (managed go-public) artinya secara terencana dijual ke karyawan, nasabah, rekanan, dan masyarakat luas. Seperti kasus Semen Gersik yang sangat vital dan strategis harus bisa diatur untuk dapat dimiliki (dibeli) oleh Pemda setempat, oleh para developer nasional, para pengecer semen, para karyawan sendiri, para buruh umumnya dan publik secara luas. Dijual ke asing tidak harus 51%.
Mengapa sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak dan yang selama ini cukup efisien harus diprivatisasi. Privatisasi hendaknya tidak lagi dipandang sebagai upaya menutup defisit fiskal. Namun lebih dari itu, hal yang terpenting adalah mendorong peningkatan efisiensi dan penurunan harga. Karena kalau tidak, privatisasi lebih dekat dengan langkah pemusatan kepemilikan ke tangan orang per orang, ke tangan sekelompok penyandang kapital uang.
Menurut Santosa (1998), Privatisasi dalam kenyataannya memang mengalihkan kepemilikan negara (yang diwakili oleh pemerintah) kepada sektor swasta, karena pemerintah telah menyadari bahwa beban dan lingkup tugas pemerintah sudah menjadi lebih besar sehingga akan lebih efektif dan efisien apabila tugas-tugas yang selama ini menjadi tanggung jawab pemerintah (melalui BUMN) dialihkan kepada pihak swasta. Jadi sebenarnya tidak ada yang menakutkan ataupun membahayakan, nothing harm, apalagi bila kita menyimak bahwa privatisasi ini telah pula dilaksanakan oleh berbagai negara didunia, yang semuanya berakhir dengan baik.
Secara teoritis, tekad BUMN untuk melakukan privatisasi adalah berasal dari Direksinya sendiri, dengan didasarkan kepada berbagai pertimbangan antara lain yaitu :
3. Meningkatkan profesionalitas pengelolaan perusahaan
4. Mengurangi campur tangan birokrasi / pemerintah terhadap pengelolaan perusahaan.
5. Mendukung pengembangan pasar modal dalam negeri.
6. Sebagai flag-carrier (pembawa bendera) dalam mengarungi pasar global.
Namun khusus di negara tercinta kita ini, idealisme privatisasi ini sudah ”berbelok”. Kalau kita melihat privatisasi yang dilakukan oleh beberapa negara maju seperti Inggris, Jepang dan Amerika Serikat, dimana Pemerintah Inggeris melakukan privatisasi SOE (State Owned Enterprise) atau BUMN dibidang telekomunikasi yang kemudian menjadi British Telecom. Selanjutnya diikuti oleh Jepang yang berhasil melaksanakan privatisasi BUMN telekomunikasi NTTPC menjadi NTT dan satu perusahaan baru dibidang telekomunikasi domestik. Seperti misalnya Inggris, privatisasi atas SOE dilakukan karena mereka ingin melindungi hak-hak konsumen yang selama ini hidup dibawah kekuasaan monopoli British Telecoms. Sedangkan Jepang melakukan privatisasi karena ingin menumbuhkan industrinya yang selama ini hidup di alam monopsoni (pembeli tunggal yakni NTTPC), hampir serupa dengan pertimbangan Pemerintah Amerika Serikat pada waktu memecah Ma-Bell menjadi seven sisters, tujuh perusahaan telepon regional ditahun yang sama.
Meskipun tidak sepenuhnya pola privatisasi di negara-negara ini dapat dijadikan contoh, namun beberapa skenario dan strategi dapat dijadikan acuan pemerintah yang akan melakukan privatisasi. Jalan menuju privatisasi ditiap-tiap negarapun berbeda-beda. Ada negara yang dengan mudah mendapat dukungan dari wakil rakyat namun ada pula yang sangat sulit bahkan terhambat karena tidak dapat meyakinkan para unsur pembuat keputusan untuk mendukung program privatisasi. Sehingga hanya pemerintahan yang kuat keinginannya saja yang akan dapat mencapai tujuan dari program privatisasi. Dan harus disadari pula bahwa unsur yang berkepentingan (stake-holders) dari privatisasi bukan hanya pemerintah dan badan legislatif saja tetapi juga manajemen dan karyawan BUMN yang bersangkutanpun memainkan peran yang sangat menentukan keberhasilan program ini.
Proses privatisasi yang ideal adalah apabila dimulai dari rencana usulan manajemen BUMN bukan berdasarkan instruksi dari pemerintah. Privatisasi yang berasal dari usulan BUMN biasanya lebih lancar, dan pemerintah bertindak sebagai fasilitator, hanya tinggal menentukan besarnya saham yang akan dilepas, hari H-nya, modusnya apakah melalui penawaran umum ataukah aliansi strategis. Sedangkan proses "housekeeping" dan sosialisasi dilakukan sendiri oleh BUMN. Yang dimaksud dengan proses housekeeping adalah proses pembenahan intern BUMN termasuk namun tidak terbatas kepada restrukturisasi, golden hand-shake atau pensiun dini (dalam hal diperlukan), dan proses lain yang diperlukan agar BUMN tersebut menjadi lebih menarik minat investor untuk menanamkan modalnya.
Modus privatisasi ditentukan pada saat semua persiapan telah selesai dan ini merupakan kewenangan Pemerintah selaku pemegang saham, apakah akan melalui penawaran umum (public offering atau stock-flotation), ataukah aliansi strategis (stategic alliance) yang telah diseleksi melalui tender, pelelangan (auction) ataupun negosiasi. Hal ini adalah untuk mencegah terjadinya kesimpang siuran ataupun kekeruhan informasi sehingga dapat dihindari adanya pernyataan dari Direksi BUMN bahwa yang bersangkutan lebih condong untuk memilih penawaran umum dibandingkan dengan aliansi strategis ataupun dapat pula sebaliknya. Karena ini bukanlah hak dari Direksi tetapi adalah kewenangan dari pemerintah sehingga tidak perlu terjadi adanya polemik yang dapat mengacaukan persiapan proses privatisasi.
Jadi sesungguhnya peran persiapan privatisasi sebagian besar berada dipundak Direksi BUMN bukan pada pemerintah. Ketidak inginan ataupun ketidak mampuan Direksi melakukan persiapan-persaiapan yang diperlukan dapat menggambarkan pula ketidak mampuannya didalam mengelola perusahaan terutama bila dikaitkan dengan era globalisasi yang ditandai oleh adanya persaingan tingkat tinggi (hyper-competition). Seharusnya seluruh Direksi BUMN diberikan tugas oleh Pemerintah untuk menyiapkan BUMN nya memasuki pasar modal melalui privatisasi guna menghadapi pasar global. Sedangkan kapan waktu yang tepat untuk memasukinya disesuaikan dengan kondisi pasar pada saat yang memungkinkan. Kinerja keberhasilan Direksi dan Dewan Komisaris seharusnya dinilai pula dari keberhasilan mereka menyiapkan BUMN-nya untuk privatisasi. Dan ini seharusnya menjadi program utama Pemerintah dalam rangka mendayagunakan BUMN.
Modus penawaran saham secara umum adalah yang paling ideal apabila perekonomian dan kondisi pasar dapat mendukung rencana ini. Namun dalam hal pasar kurang baik, maka alternatif strategic investor atau aliansi strategis dapat ditempuh dengan catatan harus teliti dan transparan didalam memilih calon yang terbaik. Dan jangan terbujuk oleh rayuan pada saat investor tersebut menyampaikan penawarannya. Karena setiap proposal akan dikemas sedemikian rupa agar menjadi suatu rencana dan visi yang seakan-akan menjanjikan, dan akan ketahuan belangnya pada saat implementasinya.
Contoh yang perlu dipelajari adalah kasus Kerja Sama Operasi (KSO) Telkom dimana antara ketentuan yang tertera di Kontrak berbeda dengan yang dilaksanakan oleh para investor . Dalam penawaran maupun perjanjian mitra KSO menjanjikan untuk membawa ke Indonesia, dana untuk operasi dan pembangunan, teknologi, keterampilan manajemen dan peningkatan kesejahteraan bagi karyawan Telkom. Namun dalam kenyataannya tidaklah demikian, karena dana mereka pinjam dengan memakai jalur perusahaan patungan (joint venture company) Indonesia sehingga berakibat menambah 3-L (legal lending limit) Indonesia. Teknologi tetap tidak ada yang baru, demikian pula halnya dengan keterampilan manajemen ternyata hanya karyawan kelas 3 yang mereka bawa ke Indonesia, bahkan sering dipakai sebagai ajang pelatihan karyawan asing. Demikian pula halnya kesejahteraan ternyata apa yang dijanjikan tidak diwujudkan. Sayangnya Direksi telkom tidak berani untuk melakukan "default" ataupun pemutusan kontrak dengan mitra asing yang nyata-nyata telah merugikan Indonesia. Bahkan lebih mengarah kepada pemberian berbagai keringanan yang sangat menguntungkan investor asing, sehingga citra Indonesia dikalangan investor asing menjadi kurang baik karena berbagai hal yang tidak masuk akal sehat dari sudut bisnis pun tetap dilakukan oleh manajemen demi memelihara investor asing dibumi pertiwi meskipun merugikan rakyat.
Keengganan Direksi BUMN melakukan aliansi strategis diantaranya adalah kekhawatiran akan hilangnya kedudukan mereka karena akan digantikan oleh orang asing atau yang mereka tunjuk. Jadi kepentingan pribadi jauh lebih menonjol dibandingkan dengan kepentingan bangsa dan negara. Untuk ini Pemerintah perlu menyusun strategi agar kekhawatiran manusiawi ini dapat diatasi misalnya dengan cara melindungi kepentingan bangsa dan negara melalui satu saham seperti dwi warna, yang hanya dapat dimiliki oleh pemerintah dengan suatu kewenangan yang sangat besar antara lain termasuk penggantian Dewan Komisaris dan Direksi BUMN yang telah di privatisasi.
Bagaimana komentar rekan-rekan ????
From various resorches
Jumlah itu boleh dibilang spektakuler. Jumlah yang terbesar dalam sejarah bangsa ini. Kalangan DPR pun mempertanyakan metode apa yang digunakan Pemerintah dalam proses penjualan 44 BUMN itu. Sebagai ilustrasi, bahwa pada periode 1991-2001, Pemerintah Indonesia telah 14 kali memprivatisasi BUMN, walaupun yang terprivatisasi tidak seluruhnya, yaitu “hanya” 12 BUMN. Periode 2001-2006, pemerintah kembali memprivatisasi 14 BUMN, dan lagi-lagi “hanya” 10 BUMN yang terprivatisasi, dan ironisnya, sejak jaman kepemimpinan mantan Presiden BJ Habibie, Gus Dus sampai dengan Ibu Megawati yang “nasionalis”pun tidak “terbebas” dari niat privatisasi BUMN.
Hingga saat ini, kebijakan pemerintah SBY-JK dinilai para pengamat sebagai 'ledakan privatisasi'. Bayangkan, hanya dalam setahun 44 BUMN dilego. Apalagi, privatisasi kali ini disertai penjualan seluruh saham 14 BUMN industri, 12 BUMN kepada investor strategis, dan beberapa BUMN lainnya kepada asing. Ledakan privatisasi yang dilemparkan Pemerintah tahun ini dituding para analis “pro-nasioanalisme ekonomi” sebagai langkah yang tidak lepas dari agenda neoliberalisme IMF, Bank Dunia, ADB, maupun kalangan korporat asing.
Rencana Privatisasi BUMN itu melahirkan komentar yang beragam, menurut Guru Besar FE UI Sri Edi Swasono, jika tidak dikelola secara hati-hati dan profesional, ledakan privatisasi itu justru mengindikasikan adanya upaya “perampokan” harta negara untuk agenda politik Pemilu 2009, sementara Indonesia Corruption Wacth (ICW) menempatkan agenda privatisasi 2008 sebagai salah satu ladang potensi korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan, menjelang Pemilu 2009 sudah terendus transaksi-transaksi yang mencurigakan.
Dengan penjualan BUMN besar-besaran ini, sekali lagi ratusan triliun aset negara beserta manfaatnya akan segera melayang dari tangan bangsa ini hanya untuk memuaskan kerakusan neoliberalisme. Menurut para penganut nasionalisme ekonomi, BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak dan BUMN yang bergerak di sektor pertambangan termasuk harta milik umum. Jadi, mestinya, pemerintah tidak berhak menjualnya kepada swasta dan asing. Begitu pula BUMN yang bersifat strategis bagi negara dan industri nasional. Selanjutnya meminjam perspektif ekonom UGM Revrisond Baswir, penjualan (privatisasi) 44 BUMN itu akan dipersoalkan publik jika tidak memakai metode yang benar, profesional, hati-hati, tidak tepat momentumnya, tidak akuntabel, dan tidak transparan.
Sejauh ini, BUMN yang akan diprivatisasi tahun ini adalah PT Asuransi Jasa Indonesia, PT Krakatau Steel, PT Bank Tabungan Negara, PT Semen Baturaja, PT Sucofindo, PT Surveyor Indonesia, dan PT Waskita Karya, Bahtera Adiguna, Barata Indonesia, PT Djakarta Lloyd, PT Sarinah, PT Industri Sandang, PT Sarana Karya, PT Dok Kodja Bahari, PT Dok & Perkapalan Surabaya, PT Industri Kereta Api, PT Dirgantara Indonesia, PT Kertas Kraft Aceh, PT INTI, Virama Karya, Semen Kupang, Yodya Karya, Kawasan Industri Medan, Kawasan Industri Makassar, Kawasan Industri Wijaya Kusuma, PT SIER, PT Rekayasa Industri, Kawasan Berikat Nusantara, Garuda Indonesia, Merpati Nusantara dan Industri Gelas.
Menurut A Tony Prasetiantono, Dosen FE UI bahwa di seluruh dunia, privatisasi BUMN pada dasarnya didorong dua motivasi :
1. Keinginan menaikkan efisiensi karena buruknya kinerja sebagian BUMN. Dalam wacana teori ekonomi, hal ini secara normatif berasosiasi dengan beberapa teori klasik, seperti: (1) X-efficiency (Harvey Leibenstein, 1966), di mana BUMN memerlukan insentif di luar kompetisi; (2) allocative efficiency (dengan pembahas pertama isu natural monopoly oleh John Stuart Mill, 1848), di mana pasar akan mendorong pencapaian efisiensi melalui persaingan; dan (3) dynamic efficiency (Joseph Schumpeter, 1942), di mana BUMN akan kian efisien jika manajemennya terdorong untuk melakukan inovasi.
2. Secara empiris dapat dibuktikan, privatisasi BUMN bisa dimaksudkan untuk membantu anggaran pemerintah dari tekanan defisit. Saat Inggris memulai gelombang privatisasi BUMN di era PM Margaret Thatcher tahun 1979, mereka menggunakan hasil privatisasi BUMN top (British Airways, British Telecom, dan British Gas) untuk mengatasi krisis fiskal atau defisit anggaran (Iekenberry, 1990).
Berdasarkan Studi yang dilakukannya, privatisasi di Indonesia bisa dipilah menjadi dua hal, berdasar kontroversial-tidaknya. Dari beberapa pengalaman privatisasi sejak Semen Gresik menjual sahamnya tahun 1991, hanya ditemukan dua kasus privatisasi besar yang bermasalah. Pertama, kasus penjualan 14 persen saham grup Semen Gresik kepada Cemex (Meksiko), September 1998 (kontroversi terletak pada harga yang tidak fair / terlalu murah) dalam denominasi dollar AS. Hal itu terjadi saat rupiah sedang di level terlalu rendah/undervalued). Kedua, kasus penjualan 42 persen saham Indosat kepada STT (Singapore Telecom and Telemedia) Desember 2002, kontroversinya lebih disebabkan ketidakrelaan menjual industri strategis kepada investor asing. Semangat sentimen nasionalis ini kuat mewarnai penolakan masyarakat atas penjualan saham Semen Padang dalam satu paket grup Semen Gresik kepada Cemex.
Terlepas dari itu semua, yang jelas saat ini, terkesan bangsa ini sedang berada di persimpangan jalan yang membingungkan, sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang juga membingungkan. Pemerintah telah mengambil langkah gagap, hanya karena Pemerintah ”menyesuaikan” harga BBM, terbitlah PKPS BBM dalam wujud BLT yang notabene merupakan langkah ”pengalihan isu yang tidak populer dan tidak mengena”. Selanjutnya, karena dalih defisit anggaran, kita dengan rela men-de-nasionalisasikan asset-asset kita ?! Apalagi diantara beberapa BUMN yang akan di privatisasikan itu adalah notabene BUMN yang sangat strategis, seperti PT Krakatau Steel yang merupakan industri Hulu dan sangat dibutuhkan oleh negara-negara yang akan ”take off” atau yang ”flying”, oleh karena itu sebagai orang awam penulis beranggapan bahwa privatisasi yang dilakukan ini adalah merupakan ”kambing hitam” dari kegagalan pemerintah menggiring dan mengembalikan dana yang berhasil dikantongi oleh koruptor-koruptor kelas kakap dan ”white collar crime” lainnya seperti Illegal logging, Illegal fishing bahkan para debitur-debitur ”BLBI gate”.
Memang, bangsa kita adalah bangsa yang merdeka, tapi mungkin belum berdaulat. Kita masih dengan senangnya memelihara sikap yang manggut-manggut, manut-manut, sambil kedua belah tangan disilangkan didepan (maaf) alat kelam*n kita. Kita terlalu terbuai dengan janji-janji manis sang ”Unholy Trinity”, tiga serangkai yang tidak suci......................IMF, WTO dan World Bank.
Kembali lagi dengan dalih membantu dan menyelamatkan negara-negara ketiga dari jurang kemiskinan dan keterpurukan, mereka melahirkan kesepakatan yang menyesatkan (apabila tidak dikaji dan di filter sesuai dengan kondisi negara masing-masing) seperti apa yang disebut dengan Washington Concensus yang melahirkan beberapa kesepakatan tentang Defisit Fiskal, Prioritas Pengeluaran Swasta, Reformasi Pajak, Suku Bunga, Nilai Tukar, Kebijakan Perdagangan, Investasi Langsung Luar Negeri, Privatisasi, Deregulasi dan Hak Properti.
Tak dapat disangkal bahwa butir-butir Washington Consensus merupakan syarat bagi berfungsinya mekanisme pasar. Hanya saja, harus diingat bahwa kebijakan-kebijakan yang direkomendasikannya tidaklah lengkap, bahkan kadangkala salah arah. Untuk mengindari ”market failure”, adalah bukan hanya lebih dari sekadar tingkat inflasi yang rendah, pasar juga membutuhkan regulasi yang tepat di sektor finansial, kebijakan persaingan usaha, serta kebijakan yang memfasilitasi alih teknologi dan mendorong transparansi.
Hal-hal fundamental inilah yang diabaikan dan tidak tercakup dalam WC (bukan water closet). Dogma liberalisasi, seperti diajukan oleh WC acap kali berubah menjadi tujuan dan bukan lagi berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan sistem finansial yang lebih baik. IMF lebih suka jika orang luar tidak terlalu banyak bertanya mengenai apa yang sedang mereka kerjakan.
Dalam teori, lembaga-lembaga keuangan itu mendukung institusi-institusi demokrasi di negara-negara yang dibantunya. Namun dalam prakteknya, IMF merusak proses demokrasi dengan cara memaksakan ”isi perutnya”. Secara ideal memang IMF tidak ”menekan” apapun juga. Seolah demokratis ia ”merundingkan” syarat-syarat untuk menerima bantuan. Tetapi semua kekuatan dalam negosiasi itu hanya berada pada satu sisi—sisi IMF, jarang sekali lembaga keuangan tersebut memberikan waktu yang cukup untuk menumbuhkan konsensus atau bahkan untuk mengadakan konsultasi yang luas baik dengan dewan perwakilan rakyat atau dengan masyarakat sipil.
Kembali ke persoalan privatisasi, Mengapa BUMN-BUMN strategis di Indonesia harus diprivatisasi? Mengapa tidak di “go-public” kan secara terkendali (managed go-public) artinya secara terencana dijual ke karyawan, nasabah, rekanan, dan masyarakat luas. Seperti kasus Semen Gersik yang sangat vital dan strategis harus bisa diatur untuk dapat dimiliki (dibeli) oleh Pemda setempat, oleh para developer nasional, para pengecer semen, para karyawan sendiri, para buruh umumnya dan publik secara luas. Dijual ke asing tidak harus 51%.
Mengapa sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak dan yang selama ini cukup efisien harus diprivatisasi. Privatisasi hendaknya tidak lagi dipandang sebagai upaya menutup defisit fiskal. Namun lebih dari itu, hal yang terpenting adalah mendorong peningkatan efisiensi dan penurunan harga. Karena kalau tidak, privatisasi lebih dekat dengan langkah pemusatan kepemilikan ke tangan orang per orang, ke tangan sekelompok penyandang kapital uang.
Menurut Santosa (1998), Privatisasi dalam kenyataannya memang mengalihkan kepemilikan negara (yang diwakili oleh pemerintah) kepada sektor swasta, karena pemerintah telah menyadari bahwa beban dan lingkup tugas pemerintah sudah menjadi lebih besar sehingga akan lebih efektif dan efisien apabila tugas-tugas yang selama ini menjadi tanggung jawab pemerintah (melalui BUMN) dialihkan kepada pihak swasta. Jadi sebenarnya tidak ada yang menakutkan ataupun membahayakan, nothing harm, apalagi bila kita menyimak bahwa privatisasi ini telah pula dilaksanakan oleh berbagai negara didunia, yang semuanya berakhir dengan baik.
Secara teoritis, tekad BUMN untuk melakukan privatisasi adalah berasal dari Direksinya sendiri, dengan didasarkan kepada berbagai pertimbangan antara lain yaitu :
1. Mengurangi beban keuangan pemerintah, sekaligus membantu sumber pendanaan pemerintah (divestasi).
2. Meningkatkan efisiensi pengelolaan perusahaan.3. Meningkatkan profesionalitas pengelolaan perusahaan
4. Mengurangi campur tangan birokrasi / pemerintah terhadap pengelolaan perusahaan.
5. Mendukung pengembangan pasar modal dalam negeri.
6. Sebagai flag-carrier (pembawa bendera) dalam mengarungi pasar global.
Namun khusus di negara tercinta kita ini, idealisme privatisasi ini sudah ”berbelok”. Kalau kita melihat privatisasi yang dilakukan oleh beberapa negara maju seperti Inggris, Jepang dan Amerika Serikat, dimana Pemerintah Inggeris melakukan privatisasi SOE (State Owned Enterprise) atau BUMN dibidang telekomunikasi yang kemudian menjadi British Telecom. Selanjutnya diikuti oleh Jepang yang berhasil melaksanakan privatisasi BUMN telekomunikasi NTTPC menjadi NTT dan satu perusahaan baru dibidang telekomunikasi domestik. Seperti misalnya Inggris, privatisasi atas SOE dilakukan karena mereka ingin melindungi hak-hak konsumen yang selama ini hidup dibawah kekuasaan monopoli British Telecoms. Sedangkan Jepang melakukan privatisasi karena ingin menumbuhkan industrinya yang selama ini hidup di alam monopsoni (pembeli tunggal yakni NTTPC), hampir serupa dengan pertimbangan Pemerintah Amerika Serikat pada waktu memecah Ma-Bell menjadi seven sisters, tujuh perusahaan telepon regional ditahun yang sama.
Meskipun tidak sepenuhnya pola privatisasi di negara-negara ini dapat dijadikan contoh, namun beberapa skenario dan strategi dapat dijadikan acuan pemerintah yang akan melakukan privatisasi. Jalan menuju privatisasi ditiap-tiap negarapun berbeda-beda. Ada negara yang dengan mudah mendapat dukungan dari wakil rakyat namun ada pula yang sangat sulit bahkan terhambat karena tidak dapat meyakinkan para unsur pembuat keputusan untuk mendukung program privatisasi. Sehingga hanya pemerintahan yang kuat keinginannya saja yang akan dapat mencapai tujuan dari program privatisasi. Dan harus disadari pula bahwa unsur yang berkepentingan (stake-holders) dari privatisasi bukan hanya pemerintah dan badan legislatif saja tetapi juga manajemen dan karyawan BUMN yang bersangkutanpun memainkan peran yang sangat menentukan keberhasilan program ini.
Proses privatisasi yang ideal adalah apabila dimulai dari rencana usulan manajemen BUMN bukan berdasarkan instruksi dari pemerintah. Privatisasi yang berasal dari usulan BUMN biasanya lebih lancar, dan pemerintah bertindak sebagai fasilitator, hanya tinggal menentukan besarnya saham yang akan dilepas, hari H-nya, modusnya apakah melalui penawaran umum ataukah aliansi strategis. Sedangkan proses "housekeeping" dan sosialisasi dilakukan sendiri oleh BUMN. Yang dimaksud dengan proses housekeeping adalah proses pembenahan intern BUMN termasuk namun tidak terbatas kepada restrukturisasi, golden hand-shake atau pensiun dini (dalam hal diperlukan), dan proses lain yang diperlukan agar BUMN tersebut menjadi lebih menarik minat investor untuk menanamkan modalnya.
Modus privatisasi ditentukan pada saat semua persiapan telah selesai dan ini merupakan kewenangan Pemerintah selaku pemegang saham, apakah akan melalui penawaran umum (public offering atau stock-flotation), ataukah aliansi strategis (stategic alliance) yang telah diseleksi melalui tender, pelelangan (auction) ataupun negosiasi. Hal ini adalah untuk mencegah terjadinya kesimpang siuran ataupun kekeruhan informasi sehingga dapat dihindari adanya pernyataan dari Direksi BUMN bahwa yang bersangkutan lebih condong untuk memilih penawaran umum dibandingkan dengan aliansi strategis ataupun dapat pula sebaliknya. Karena ini bukanlah hak dari Direksi tetapi adalah kewenangan dari pemerintah sehingga tidak perlu terjadi adanya polemik yang dapat mengacaukan persiapan proses privatisasi.
Jadi sesungguhnya peran persiapan privatisasi sebagian besar berada dipundak Direksi BUMN bukan pada pemerintah. Ketidak inginan ataupun ketidak mampuan Direksi melakukan persiapan-persaiapan yang diperlukan dapat menggambarkan pula ketidak mampuannya didalam mengelola perusahaan terutama bila dikaitkan dengan era globalisasi yang ditandai oleh adanya persaingan tingkat tinggi (hyper-competition). Seharusnya seluruh Direksi BUMN diberikan tugas oleh Pemerintah untuk menyiapkan BUMN nya memasuki pasar modal melalui privatisasi guna menghadapi pasar global. Sedangkan kapan waktu yang tepat untuk memasukinya disesuaikan dengan kondisi pasar pada saat yang memungkinkan. Kinerja keberhasilan Direksi dan Dewan Komisaris seharusnya dinilai pula dari keberhasilan mereka menyiapkan BUMN-nya untuk privatisasi. Dan ini seharusnya menjadi program utama Pemerintah dalam rangka mendayagunakan BUMN.
Modus penawaran saham secara umum adalah yang paling ideal apabila perekonomian dan kondisi pasar dapat mendukung rencana ini. Namun dalam hal pasar kurang baik, maka alternatif strategic investor atau aliansi strategis dapat ditempuh dengan catatan harus teliti dan transparan didalam memilih calon yang terbaik. Dan jangan terbujuk oleh rayuan pada saat investor tersebut menyampaikan penawarannya. Karena setiap proposal akan dikemas sedemikian rupa agar menjadi suatu rencana dan visi yang seakan-akan menjanjikan, dan akan ketahuan belangnya pada saat implementasinya.
Contoh yang perlu dipelajari adalah kasus Kerja Sama Operasi (KSO) Telkom dimana antara ketentuan yang tertera di Kontrak berbeda dengan yang dilaksanakan oleh para investor . Dalam penawaran maupun perjanjian mitra KSO menjanjikan untuk membawa ke Indonesia, dana untuk operasi dan pembangunan, teknologi, keterampilan manajemen dan peningkatan kesejahteraan bagi karyawan Telkom. Namun dalam kenyataannya tidaklah demikian, karena dana mereka pinjam dengan memakai jalur perusahaan patungan (joint venture company) Indonesia sehingga berakibat menambah 3-L (legal lending limit) Indonesia. Teknologi tetap tidak ada yang baru, demikian pula halnya dengan keterampilan manajemen ternyata hanya karyawan kelas 3 yang mereka bawa ke Indonesia, bahkan sering dipakai sebagai ajang pelatihan karyawan asing. Demikian pula halnya kesejahteraan ternyata apa yang dijanjikan tidak diwujudkan. Sayangnya Direksi telkom tidak berani untuk melakukan "default" ataupun pemutusan kontrak dengan mitra asing yang nyata-nyata telah merugikan Indonesia. Bahkan lebih mengarah kepada pemberian berbagai keringanan yang sangat menguntungkan investor asing, sehingga citra Indonesia dikalangan investor asing menjadi kurang baik karena berbagai hal yang tidak masuk akal sehat dari sudut bisnis pun tetap dilakukan oleh manajemen demi memelihara investor asing dibumi pertiwi meskipun merugikan rakyat.
Keengganan Direksi BUMN melakukan aliansi strategis diantaranya adalah kekhawatiran akan hilangnya kedudukan mereka karena akan digantikan oleh orang asing atau yang mereka tunjuk. Jadi kepentingan pribadi jauh lebih menonjol dibandingkan dengan kepentingan bangsa dan negara. Untuk ini Pemerintah perlu menyusun strategi agar kekhawatiran manusiawi ini dapat diatasi misalnya dengan cara melindungi kepentingan bangsa dan negara melalui satu saham seperti dwi warna, yang hanya dapat dimiliki oleh pemerintah dengan suatu kewenangan yang sangat besar antara lain termasuk penggantian Dewan Komisaris dan Direksi BUMN yang telah di privatisasi.
Bagaimana komentar rekan-rekan ????
Tiada Gading yang tak retak ..........
Jangan terkejut mendengar wacana privatisasi BUMN, hal itu memang harus dilakukan oleh negara ini karena tuntutan pasar yang semakin terbuka. Suatu kenyataan bahwa BUMN kita merupakan mesin-mesin pengisi kocek para penguasa, mereka bekerja seolah-olah profesional padahal tidak sama sekali, PLN, Pertamina, Telkom dan lain-lain, apa yang mereka lakukan terhadap kemakmuran Bangsa ini ???????????
BalasHapusha...ha...idealis + neoliberal ni ye...mantapppp
BalasHapusNasionalisme di Negeri ini mungkin tidak lagi memiliki tempat berpijak yang pasti...Kita kehilangan panutan dan teladan untuk merengkuh nasionalisme itu dalam dekap hangat kita...Nurani terpinggirkan, moral terabaikan..."Privatisasi Kebablasan" ini tak lebih merupakan sequel dari lakon "Kebijakan Panik" Pemerintah saat ini...Tanggung klu hanya Privatisasi, skalian saja jual Negara ini ke Bangsa lain....Gitu aja koq repoootttttt...!!!!
BalasHapusPrivatisasi BUMN NO, BBM naik NO..!!!
BalasHapusPenyelamatan APBN yang bikin pusing rakyat semua, padahal masih banyak lankah jitu dan manis sebagai jurus untuk menyelamatkan APBN tu....
Ayo para pakar ekonomi dan pakar segala pakar beri solusi donk...
Api Revolusi ...hendaknya jangan jangan di gantikan pigur yang tak pasti.
BalasHapustapi memang ada beberapa BUMN yang harus di privatisasi loh, supaya bisa lebih bersaing lagi menjadi yang terbaik untuk melayani rakyat. kita tahu sendrii birokrasi (Pegawai 2 Negri yg DONGO itu) kerjanya cuman ongkang2 kaki doank,masa bodoh, truz terima sogokan, coba kalau kita ke perusahaan swasta mana ada kayak gitu, ada juga kita diperlakukan bak raja dilayani dengan baik.
BalasHapuscontohnya nih PT KAI dari dulu smpe skrg bgtu mulu, milik pemerintah tapi koq DONGO.
PLN mati lampu mulu, alasan ini lah itu lah.YANG PENTING PRIVATISASI BOLEH ASAL RAKYAT TERJAMIN misalnya mendapat SUBSIDI dari pemerintah.
yah begitulah bangsa kita, menyebalkan..
BalasHapuskini rame2 masalah koalisi gara2 hak angket pajak
BalasHapusakankah sby meresuffle kabinetnya ?
BalasHapusTerima kasih telah berbagi informasi dan salam sukses
BalasHapusgood job
BalasHapusterimah kasih
BalasHapusmantap
BalasHapusTERIMAKSI GAN UNTUK ARTIKELNYA. SANGAT BERMANFAAT ^^
BalasHapusagen domino online
agen poker terpercaya
agen sakong online
bandar capsa online
poker online terpercaya
agen domino online